Beberapa hari ini, aku tergelitik oleh satu postingan fanpage di media sosial. Sederhana saja, meme tersebut bercerita tentang dua negara tetangga yang merayakan hari jadi Indonesia yang ke 70 dengan membawakan kue ulang tahun. Ya, meme itu memang merupakan postingan lama yang diangkat kembali. Namun permasalahannya, bukannya bersuka cita dan meniup lilin di kue tersebut dengan hati-hati, justru lilin tersebut ditiup secara serampangan hingga menyebarkan asap ke seluruh penjuru.
Alih-alih merasa lucu, aku terdiam membatu.
Tentu saja aku sedih melihat saudara-saudara setanah air saat ini sedang menderita karena kabut asap telah mengepung daerah tempat tinggal mereka. Tentu aku sedih saat mendengar berita akan hewan-hewan kehilangan tempat tinggalnya. Tentu aku sedih saat membaca berita bahwa penderita ISPA terus bertambah. Orang gila mana yang tak terketuk hatinya saat mendengar jerit kesakitan anak-anak itu?
Di saat bersamaan pula aku merasa miris. Miris karena sejak beberapa waktu ini aku malah uring-uringan karena kabut asap ini dapat membuat rencana liburanku bulan depan kemungkinan besar harus disusun ulang. Bahwa ada kemungkinan liburan yang telah direncanakan sejak beberapa bulan itu bisa jadi gagal total bila keadaan ini semakin berlarut-larut.
Indonesia dan kabut asap, haruskah berteman? |
Kemudian aku tersadar, betapa picik pemikiranku. Betapa kekanakannya dan sempit pikiran itu. Bukannya khawatir bila kondisi ini terus berlanjut dan kabut asap terus menyebar di seluruh Pulau Sumatera dan Kalimantan, atau bahkan seluruh wilayah Indonesia. Bukannya mengkhawatirkan kualitas udara Bengkulu yang sekarang mulai masuk tingkat tidak sehat. Bukannya khawatir karena sedari pagi tadi aku mulai merasa sesak mulai menghampiri. Bukannya khawatir sebab mulai air bersih kini mulai susah didapatkan.
Ah, ya ya ya. Mungkin kita bisa berkelit. Namanya juga manusia, khilaf itu wajar. Tapi bukannya manusia telah dibekali akal sehat oleh sang Pencipta?
Haruskah kita selalu berteman dengan asap saat musim kemarau tiba? Haruskah kita berpangku tangan dan pasrah dengan keadaan yang sama setiap tahunnya? Tidak adakah solusi yang dapat kita lakukan?
Dan haruskah aku menyerah akan liburan yang telah kunanti selama berbulan-bulan lamanya?
Komentar
Posting Komentar